Kumpulan Artikel BKD D.I. Yogyakarta

Konsepsi Analisis Kebutuhan Diklat (AKD)

Analisis kebutuhan diklat sangat terkait dengan pengertian kebutuhan.

Dalam konteks penyusunan program diklat, kebutuhan (need) diantaranya diawali dari pendapat Burton, Merrill dan Kaufman yang menyatakan kebutuhan adalah ketimpangan atau gap antara “apa yang seharusnya” dengan  apa yang “senyatanya”. Untuk mempermudah pemahaman, pengertian kebutuhan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat digambarkan sebagai berikut:

Kebutuhan Sebagai Gap

Selanjutnya istilah kebutuhan lebih diperjelas oleh Kaufman dalam Rothwell dengan menyatakan bahwa kebutuhan sebagai kesenjangan kinerja yang dapat membedakan antara apa yang diketahui, dilakukan atau dirasakan dengan apa yang seharusnya diketahui, dilakukan dan dirasakan untuk ditunjukkan sebagai suatu kemampuan. Kebutuhan dinyatakan dalam bentuk kata benda (noun), bukan sebagai kata kerja (verb). Dari kedua definisi yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan dapat diketahui dari adanya ketimpangan atau belum dicapainya suatu situasi berdasarkan unjuk kerja yang dipersyaratkan untuk suatu jabatan atau pekerjaan dalam organisasi.

 

Selanjutnya, Bradshaw menyatakan terdapat 4 (empat) jenis kebutuhan, yaitu: kebutuhan normatif (normative need), kebutuhan yang dirasakan (felt need), kebutuhan yang diekspresikan (expressed need), kebutuhan komparatif (comparative need). Selanjutnya, Burton dan Merril dalam Kemp menyatakan terdapat 6 tipe atau sumber data untuk mengetahui adanya suatu kebutuhan, yaitu kebutuhan normatif (normative need), kebutuhan yang dirasakan (felt need), kebutuhan yang diekspresikan (expressed need), kebutuhan komparatif (comparative need), kebutuhan antisipatif (anticipated or future needs) dan kebutuhan kritis dan mendesak (critical incident needs). Dari dua pendapat tentang tipe kebutuhan tersebut, dapat ditemukan 6 (enam) tipe kebutuhan yang dapat dijadikan dasar dalam penemuan kebutuhan pendidikan dan pelatihan.

 

Kebutuhan normative (normative needs) adalah kebutuhan yang ada karena dibandingkan dengan norma tertentu. Misalnya, secara normative ditetapkan bahwa untuk menduduki jabatan struktural dipersyaratkan untuk mengikuti Diklat Kepemimpinan. Apabila pada suatu Pemerintah Daerah jumlah pejabat yang akan dipromosikan lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan jumlah pegawai yang telah memenuhi persyaratan Diklat Kepemimpinan, maka secara normatif terdapat kebutuhan untuk mengikuti Diklat Kepemimpinan.

 

Kebutuhan yang dirasakan (felt need) biasanya berasal atau disampaikan seseorang kalau kepadanya kita tanyakan apa yang diperlukan. Misalnya, prestasi kerja seorang pegawai cenderung menurun.  Alasan pegawai cenderung menyatakan bahwa peralatan atau teknologi baru yang diterapkan di tempat kerjanya belum dikuasai dengan benar. Maka peningkatan kemampuan menggunakan peralatan baru merupakan kebutuhan yang dirasakan oleh pegawai yang bersangkutan.

 

Kebutuhan yang diekspresikan (expressed need) dapat disamakan dengan pemikiran ekonomi yang menyatakan apabila  seseorang memerlukan sesuatu maka akan menimbulkan permintaan (demand). Misalnya, mobil  mogok karena kehabisan bensin, selanjutnya kita harus membeli bensin dipompa bensin terdekat. Tindakan membeli bensin tersebut merupakan wujud dari kebutuhan yang diekspresikan.

Kebutuhan komparatif (comparative need) adalah kebutuhan yang muncul kalau  membandingkan dua kondisi atau lebih yang berbeda. Misalnya, pada Dinas Pendapatan Kota, terjadi peningkatan Pendapatan Asli Daerah secara signifikan disertai peningkatan invetasi di sektor pariwisata. Sementara  Kota Y yang memiliki potensi dan sumber daya yang relatif sama tidak terjadi peningkatan dalam penerimaan dan investasi. Berdasarkan hasil pengamatan pejabat Kota Y yang melakukan studi ke Kota X, diketahui bahwa penerapan teknologi baru dalam pemberian pelayanan kepada wajib pajak dan retribusi disertai dengan pemberian pelatihan bagi pegawai yang bertugas memberikan pelayanan.  Kondisi ini, menunjukkan akan timbul kebutuhan yang berasal dari perbandingan antara kondisi Kota X dengan Kota Y.

 

Kebutuhan antisipatif (anticipated or future needs) adalah kebutuhan yang timbul dari perkiraan perubahan di waktu yang akan datang. Identifikasi terhadap kebutuhan tipe ini merupakan bagian dari perencanaan, dengan demikian pelatihan dapat didesain mendahului tahap implementasi perubahan tersebut. Sebagai contoh, salah satu kabupaten akan menerapkan Sistem Informasi Manajemen Pendapatan Daerah tahun depan sebagai salah satu bentuk peningkatan efisiensi manajemen pendapatan daerah. Agar dapat terimplementasi dengan baik, maka dibutuhkan beberapa pelatihan yang terkait dengan penerapan sistem informasi manajemen, diantaranya Pelatihan Operator Komputer, Pelatihan Manajemen Data dan lain-lain.

Kebutuhan kritis dan mendesak (critical incident needs), tipe kebutuhan ini bukan semata ditujukan untuk mengatasi kegagalan dalam pelaksanaan suatu kegiatan, namun juga untuk mengatasi berbagai konsekuensi kerja yang sangat riskan, misalnya bencana alam, kebocoran reaktor nuklir, kesasalan terapi dan lain-lain. Kebutuhan ini diidentifikasi melalui analisis potensi masalah dengan pertanyaan ”apa yang akan dilakukan bila”, misalnya ”Apa yang akan dilakukan bila terjadi kerusakan pada sistem jaringan telepon atau komputer?”

Tipe kebutuhan yang disebutkan di atas dapat diterapkan dalam mengidentifikasi kebutuhan diklat pegawai. Bila tipe kebutuhan normatif dapat dipenuhi oleh pemerintah daerah, maka tingkat kepuasan masyarakat akan meningkat. Hal ini disebabkan karena kebutuhan normatif dapat mengungkap standar kinerja yang seharusnya dilaksanakan dan dipatuhi oleh setiap pejabat pada pemerintah daerah. Contoh standar kinerja yang dapat dikategorikan sebagai kebutuhan tipe normatif diantaranya timbul dari  pernyataan bahwa pembuatan Kartu Tanda Penduduk  (KTP) di wilayah Provinsi X tidak dibebani biaya. Apabila masih dijumpai adanya pungutan kepada masyarakat dalam pembuatan KTP, maka dapat dinyatakan adanya kebutuhan normatif untuk menghilangkan pungutan dalam pembuatan KTP.

 

Timbulnya berbagai kebutuhan dalam pelaksanaan tugas pada organisasi, sebagian diantaranya dapat dinyatakan sebagai kebutuhan diklat. Secara umum kebutuhan diklat dinyatakan sebagai kesenjangan yang ada antara syarat-syarat pekerjaan yang benar dalam jabatan yang telah tersedia dengan kemampuan sekarang dari pelaksana jabatan. Kesenjangan yang terjadi pada pelaksana jabatan tersebut menurut Rosset dapat disebabkan oleh empat hal, yaitu: kurangnya keterampilan atau pengetahuan, perubahan dalam organisasi, kurang atau tidak adanya insentif dan tidak termotivasinya pegawai untuk melakukan pekerjaan.

 

Selanjutnya, yang dimaksud dengan analisis kebutuhan diklat adalah proses untuk menentukan apa yang seharusnya dalam rumusan sasaran-sasaran dan dilanjutkan dengan mengukur jumlah ketimpangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang semestinya. Proses ini disebut juga sebagai need assessment atau discrepancy analysis. Jadi, analisis kebutuhan diklat dapat dinyatakan sebagai studi sistematik tentang suatu masalah atau inovasi, memasukkan data dan opini dari berbagai sumber yang dimaksudkan untuk mengambil keputusan atau memberikan rekomendasi tentang jenis kemampuan apa yang akan diberikan kepada calon peserta diklat.

         Dalam pelaksanaannya, Kaufman dalam Sadiman mengidentifikasi sekurang-kurangnya tiga karakteristik analisis kebutuhan diklat, yaitu: data harus menyajikan kondisi aktual si belajar dan orang-orang yang terkait baik kondisi saat ini maupun kondisi yang diharapkan; tidak ada analisis kebutuhan yang bersifat final dan lengkap dan ketimpangan seharusnya diidentifikasi dari produk dan bukannya mengenai proses. Berdasarkan karakteristik analisis kebutuhan diklat tersebut dapat diketahui bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang berkelanjutan dari satu analisis kebutuhan ke analisis kebutuhan selanjutnya.

 

         Kesinambungan proses analisis juga tergambarkan dalam langkah-langkah kegiatan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan analisis kebutuhan diklat, yaitu: (1) penyusunan rencana, (2) identifikasi gejala masalah, (3) penentuan lingkup perencanaan, (4) identifikasi alat dan prosedur analisis, (5) penentuan dan rumuskan kondisi sekarang, (6) tentukan kondisi yang diharapkan, (7) pertemukan perbedaan pendapat, (8) urutkan kebutuhan dan  (8) teruskan penilaian untuk tetap up to date. Pada langkah kedelapan secara tegas dinyatakan untuk melakukan penilaian sehingga hasil yang diperoleh selalu tetap up to date. Langkah pelaksanaan yang disebutkan di atas, merupakan salah satu pilihan yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan analisis kebutuhan diklat.

 

Hal lainnya yang terkait dengan pelaksanaan analisis kebutuhan diklat adalah tingkatan atau level pelaksanaan analisis kebutuhan diklat yang meliputi level    organisasi, pekerjaan dan individu. Pada level organisasi, analisis ditujukan untuk melihat kelemahan umum yang terdapat pada organisasi. Misalnya unit atau bidang yang paling membutuhkan pelatihan berdasarkan kinerja yang dicapai. Analisis kebutuhan diklat pada level pekerjaan bertujuan untuk mengetahui jenis keterampilan, pengetahuan dan sikap yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan tertentu. Misalnya, pekerjaan arsiparis membutuhkan jenis keterampilan, pengetahuan atau sikap apa saja sehingga pekerjaan arsiparis menjadi lebih baik. Selanjutnya, analisis kebutuhan diklat pada level individu bertujuan untuk mengetahui siapa diantara pegawai yang akan mengikuti diklat tertentu.

Kaufman dengan memperhatikan kondisi awal atau pertanyaan yang diajukan untuk melaksanakan analisis kebutuhan membagi jenis analisis ke dalam 6 kategori, yaitu model Alpha, Beta, Gamma, Delta, Epsilon dan Zeta. Kategori ini dikembangkan Kaufman untuk menunjukkan adanya urut-urutan langkah kegiatan dalam analisis kebutuhan.

Model Alpha dimulai dari seluruh bagian yang terkait dengan analisis kebutuhan (dewan pendidikan, fasilitator, penyelenggara dan pengguna lulusan) saling menghargai pendapat yang ada tentang solusi yang diberlakukan saat ini. Selanjutnya ditentukan kesenjangan antara hasil yang diperoleh dengan hasil dipersyaratkan dan yang diharapkan. Model Beta dilakukan pada saat semua unsur yang terkait dengan pelaksanaan diklat telah merasa yakin bahwa tujuan dan kebijakan yang diterapkan sudah benar, hal ini akan menjadi prasyarat untuk menentukan kesenjangan dalam kinerja peserta sekarang dengan kinerja yang diharapkan. Model Gamma dimulai pada saat timbul pertanyaan untuk mengurutkan hasil (goal) dan tujuan (objective) yang telah ada untuk menghasilkan urutan hasil yang diharapkan berdasarkan prioritas, alternatif program maupun material yang menunjang pencapaian kinerja organisasi. Model Delta lebih memfokuskan perhatian pada tugas-tugas manajerial untuk menunjang pelaksanaan analisis kebutuhan. Selanjutnya model Epsilon dan Zeta mempunyai peranan untuk melakukan evaluasi sehingga secara konstan dan berkelanjutan terjadi perubahan.

Pengelompokan yang lain atas ruang lingkup analisis kebutuhan diklat dilakukan oleh Laird, yaitu dengan micro needs dan macro needs. Pengelompokan ini didasarkan atas dampak dari kegiatan yang dilakukan oleh Unit Training&Development pada suatu organisasi. Micro needs  ditujukan hanya untuk mengetahui kebutuhan seseorang atau kelompok kecil pegawai, sebaliknya macro needs  ditujukan untuk seluruh pegawai atau sekelompok pegawai yang melaksanakan tugas dengan spesifikasi pekerjaan yang sama.

Selanjutnya, Kaufman mengidentifikasi adanya  tiga model umum analisis kebutuhan diklat, yaitu: model induktif, deduktif, dan klasik. Model induktif  adalah suatu model yang didahului dengan kegiatan mengukur perilaku calon peserta, kemudian mengelompokkannya dalam kawasan program dari sudut tujuan umum yang diharapkan oleh masyarakat. Harapan tersebut kemudian dibandingkan dengan tujuan besar yang telah ditetapkan dan akhirnya disusun tujuan yang lebih terperinci. Model deduktif (tipe D) adalah suatu model yang berturut-turut dimulai dari rumusan  tujuan umum dan pernyataan hasil yang ada dituangkan ke dalam tingkah laku yang diharapkan, penetapan kriteria untuk mengukur perilaku, mengadakan kesepakatan dengan  partner pendidikan lainnya (calon peserta, fasilitator, pengguna lulusan dan masyarakat), melakukan pengumpulan data tentang kesenjangan kemampuan, merumuskan tujuan, mengembangkan program, melaksanakan dan mengevaluasi. Sementara itu model klasik (tipe C) adalah suatu model yang berkaitan dengan orientasi pencapaian sasaran pada pendidik daripada orientasi pencapaian sasaran si belajar.

Secara lebih lengkap, untuk menggambarkan hubungan antara komponen-komponen yang mendukung pelaksanaan analisis kebutuhan diklat, yaitu: teknik, alat dan tujuan analisis kebutuhan diklat. Selanjutnya dapat dilihat  dalam  gambar berikut:

 

Gambar : Hubungan Teknik, Alat dan Tujuan Analisis Kebutuhan

Sumber:Allison Rosset and Joseph W. Arwadi, Training Needs Assesment (New Jersey: Education Techology Publications, Inc, 1987)

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa teknik, alat dan tujuan pelaksanaan analisis kebutuhan diklat demikian luas. Teknik yang dapat digunakan  bersifat saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Teknik pertama adalah perluasan pengumpulan data yang berkaitan dengan kinerja pegawai yang menjadi target pelaksanaan analisis kebutuhan diklat. Contoh data dapat berupa grafik penjualan atau pendapatan, angka kecelakaan dan lain-lain.

Teknik selanjutnya adalah needs assessment yang diartikan sebagai cara untuk mendapatkan opini tentang tujuan (optimals, actuals, feelings, causes dan solusions) dari berbagai pihak. Teknik needs assessment mensyaratkan melakukan kontak dengan sumber informasi untuk mendapatkan perspektif dan informasi baru yang terkait dengan kinerja yang telah dicapai oleh setiap orang atau organisasi. Teknik terakhir adalah melakukan subject matter analysis, yaitu melakukan pengkajian terhadap bangun pengatahuan, keterampilan atau sikap yang akan dibelajarkan, sehingga calon peserta diklat dapat meningkatkan kinerjanya.  

Teknik lainnya adalah analisis kebutuhan diklat dengan menggunakan Quality Function Deployment (QFD). Teknik ini menggunakan statistik, model setahap demi setahap untuk menemukan apa yang harus dilakukan pada semua level pekerjaan untuk menemukan permintaan pelanggan. Hasil dari proses ini digunakan untuk menemukan kebutuhan pekerja atau peserta belajar yang berupa konten pembelajaran, perilaku yang diharapkan, metode, proses, dan lain sebagainya dalam memuaskan pelanggan melalui peningkatan kualitas pekerjaan.

Seluruh teknik analisis yang dikemukakan di atas, perlu didukung oleh alat yang tepat. Dengan memperhatikan demikian luasnya teknik analisis yang dapat dilakukan, maka alat analisispun menjadi bervariasi, yaitu dapat menggunakan wawancara, observasi, analisis kelompok dan survey. Berdasarkan pilihan alat tersebut, survey dengan menggunakan kuesioner menjadi pilihan yang banyak dilakukan oleh pengembang program diklat.

Pada akhirnya rangkaian kegiatan dengan menggunakan teknik dan alat analisis kebutuhan diklat adalah tersedianya rumusan yang disebut: ”optimals”, ”actuals”, ”causes”, ”feelings” dan ”solutions”. Optimals adalah tersedianya informasi tentang jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap yang perlu ditingkatkan dan ditindaklanjuti dalam bentuk diklat. Ketersediaan informasi ini merupakan tingkatan paling awal yang semestinya dapat diperoleh dari pelaksanaan analisis kebutuhan diklat. Tahap selanjutnya adalah dapat menemukan actuals, yaitu pengembang program memiliki penjelasan yang lebih detail tentang mengapa arus dokumen yang menyangkut sesuatu hal tertentu berjalan tidak sebagaimana mestinya atau salah dan di lain pihak dokumen yang lain dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Selanjutnya, tujuan yang dapat dicapai adalah feelings, yaitu memahami apa yang dirasakan oleh orang yang melaksanakan pekerjaan. Misalnya bagaimana perasaan sekretaris dengan mulai dipergunakannya sistem telepon yang baru dengan demikian kita dapat memahami apakah yang bersangkutan merasa kompeten untuk belajar dan menggunakannya.

Causes berkaitan dengan menemukan penyebab berbagai masalah yang terkait dengan kinerja yang ada sekarang, dengan demikian pertanyaan yang diajukan adalah mengapa pertanyaan ini seharusnya ditujukan pada pimpinan organisasi. Tujuan akhir dari pelaksanaan analisis kebutuhan adalah penetapan pemecahan masalah kinerja, dapat dilakukan dengan diklat atau non diklat yang disampaikan dalam bentuk keputusan atau rekomendasi. Keputusan menjadi pelatihan atau tidak dapat juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dianggap paling dominan dalam suatu organisasi.

 

Berdasarkan uraian tentang analisis kebutuhan diklat di atas, dapat diketahui bahwa lembaga penyelenggara diklat pada semua tingkatan pemerintahan perlu melakukan analisis kebutuhan diklat sebagai proses dalam menentukan kebutuhan belajar secara spesifik. Dengan demikian diharapkan ada kesesuaian antara kebutuhan individu dengan organisasi.(angger/program)

Sumber :

Gagne and  Briggs, op. cit.

William J. Rothwell, H. C. Kazanas, Mastering the Instructional Design Process, A Systematic Approach (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1992

Penelope Hawe, Deirdre Degeling, Jane Hall, Alison Brierley, Evaluating Health Promotion, A Health Worker’s Guide (Sydney: MacLennan & Petty Pty Limited, 1995

Jerold E. Kemp, Gary R. Morrison, Steven M. Ross, Designing Effective Instruction (New York: Macmillan College Publishing Company, 1994)

Arief S. Sadiman, Perencanaan Sistem Pembelajaran, Prototipa Bahan Perkuliahan (Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta, 1992/1993)

Allison Rosset and Joseph W. Arwady, Training Needs Assesment (New Jersey: Education Techology Publications, Inc, 1987)


© 2024 BKD D.I. Yogyakarta. All Rights Reserved.
  • 0274-562150 fax. Psw 2903, (0274) 512080
  • This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
  • Jl. Jenderal Sudirman No. 5, Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta kode pos 55233